Oleh Yuniardi Ferdinand
Ny Rasminah (30) warga yang tinggal di kaki lereng Gunung Ciremai (3.078 meter dpl) tepatnya di Desa Trijaya, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan Jawa Barat, pada hari Minggu (12/10) tiba-tiba tubuhnya bergetar.
Bahkan akibat kerasnya getaran itu, anak semata wayang yang sedang digendongnya nyaris terjatuh dari pelukan. "Untunglah, saat terjadinya guncangan tersebut, saya berpegangan pada tiang bambu yang pada Minggu siang sekitar pukul 14.00 WIB itu juga bergetar," kata dia, saat ditemui Antara, di rumahnya yang berdinding bambu, beberapa waktu lalu.
Semula, kata dia, dirinya tidak menyadari kalau getaran itu merupakan bagian dari fenomena alam, yakni gempa vulkanik akibat meningkatnya aktivitas Gunung Ciremai yang berada di samping rumahnya.
"Saya baru tahu kalau getaran itu adalah lini (gempa) setelah sejumlah warga lainnya berhamburan ke luar rumah seraya berteriak lini beberapa kali memberi tahu warga desa lainnya agar segera ke luar rumah agar terhindar bahaya," tuturnya.
Diakuinya, dirinya tidak mengerti soal asal muasal gempa, namun dari berbagai cerita orangtuanya dulu, bagi warga yang tinggal di sekitar lereng Gunung Ciremai tidak usah takut dan khawatir kalau terjadi lini, karena hal itu diyakini sebagai tanda kalau penghuni gunung itu hanya sedang menggeliat.
"Meski begitu, kami juga sempat khawatir kalau peristiwa itu sebagai pertanda buruk atau penghuninya murka (gunung meletus,red), karena dampaknya jelas akan menimbulkan bencana, apalagi kami yang tinggal tidak jauh dari puncak gunung tersebut," tuturnya.
Fenomena alam tersebut ternyata tidak saja dirasakan oleh Ny Rasminah. Getarannya sempat tertangkap oleh alat pendeteksi gempa atau seismograf yang dipantau melalui Pos Pengamat Gunung Api Gunung Ciremai Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Bandung yang terletak di Desa Sampora, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan.
"Secara umum aktifitas Gunung Ciremai yang berada di kawasan Majalengka dan Kuningan itu masih dalam batas normal. Kalaupun ada getaran, itu terjadi akibat gempa tektonik dan sebagian vulkanik di sekitar kawasan gunung tertinggi di Jawa Barat itu," kata Didi Supriyadi karyawan Pos Pengamat Gunung Api Gunung Ciremai di Desa Sampora, Kuningan.
Diakuinya memang akhir pekan lalu, yakni Minggu (12/10) sempat beberapa kali warga masyarakat sekitar Gunung Ciremai melaporkan merasakan adanya getaran, bahkan alat pencatat (seismograf) juga sempat mencatat getaran itu, namun diperkirakan hanya gempa tektonik skala ringan.
Dikatakannya, hingga saat ini pihaknya terus melakukan pemantauan dan pengamatan secara intensif, dan mencatat getaran yang mungkin sebagian ditimbulkan oleh aktivitas Gunung Ciremai, namun ada pula getaran akibat gempa tektonik.
"Gempa tektonik yang cukup besar terjadi di kawasan Madirancan dan Cilimus, Kabupaten Kuningan pada Mei 2003 lalu, saat itu meski tidak ada korban jiwa manusia namun sempat menghancurkan ratusan rumah warga setempat yang yang kebetulan sejak awal sudah dalam kondisi waspada," katanya.
Bahkan sampai sekarang DVMBG masih melakukan penelitian seputar terjadinya gempa di kawasan Gunung Ciremai yang intensitasnya mulai meningkat sejak Minggu (12/10) siang itu.
" DVMBG masih meneliti lebih jauh lagi apakah gempa itu diakibatkan aktivitas Gunung Ciremai yang meningkat atau getaran akibat patahan baribis," kata Kasubdit DVMBG Dr Surono. Beberapa getaran gempa sempat terdeteksi oleh warga yang tinggal di kaki gunung itu, dengan kisaran antara I MMI (Modified Mercalli Intensity) sampai II MMI.
Ia mengatakan, berdasarkan data yang diperoleh DVMBG menunjukkan bahwa selama rentang waktu dari tanggal 4 Oktober 2003 sampai 12 Oktober 2003, telah terjadi getaran tektonik dan vulkanik yang dirasakan oleh warga Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan.
Pada tanggal 4 Oktober 2003 telah terjadi tiga kali gempa tektonik, tanggal 5 Oktober lima kali gempa tektonik, dan tanggal 7 Oktober terjadi 3 kali gempat tektonik, 18 gempa vulkanik A dan 11 kali gempat vulkanik B.
Kemudian tanggal 8 Oktober 2003 terjadi 9 kali gempa Vulkanik A dan 2 kali gempa Vulkanik B, serta tanggal 12 telah terjadi 6 kali gempa Vulkanik dan 3 kali gempa tektonik.
"Meski demikian skala masih berada di kisaran antara I MMI sampai II MMI atau dapat disamakan dengan ukuran satu skala Richter," paparnya.
Ia mengaku semula adanya gempa itu masih bisa dikatakan sebagai status "aktif normal", namun setelah intensitasnya terus meningkat, akhirnya status dinaikkan menjadi "waspada".
Untuk itu, pemantauan Gunung Api Ciremai (3.078 meter dpl) oleh DVMBG semakin ditingkatkan, setelah DVMBG menetapkan terhitung dari tanggal 13 Oktober 2003 statusnya dinaikkan dari "aktif normal" menjadi "waspada".
"Peningkatan pemantauan tersebut juga setelah terjadinya beberapa gempa vulkanik dan gempa tektonik yang melanda kawasan pemukiman di kaki gunung api tersebut," katanya.
Adanya peningkatan intensitas gempa tektonik dan gempa vulkanik tersebut, membuat DVMBG mengambil keputusan untuk meningkatkan status gunung api tersebut.
"Sebenarnya yang paling diperhatikan adalah gempa vulkanik yang berkaitan dengan aktivitas gunung api, sedangkan gempa tektonik berkaitan dengan patahan baribis," ujar dia.
Kendati demikian, kata Surono, DVMBG sampai sekarang belum melihat adanya letusan "freatik" yang terjadi di kawah gunung api yang terakhir tahun 1938 lalu aktivitas gunung api tersebut meningkat.
Surono menyebutkan, Gunung Ciremai sejak tahun 1938 lalu sampai sekarang belum terjadi lagi letusan, dan aktivitas terakhirnya terjadi dari tanggal 27 Juni 1937 sampai 7 Juni 1938 dengan terjadi beberapa kali letusan freatik.
"Pada tahun 1955 lalu, di kawasan Gunung Ciremai sempat terjadi gempa tektonik namun ukurannya masih sama dengan kejadian saat ini, yakni dikisaran antara I MMI sampai II MMI," papar dia.
Sementara itu Kabag Humas Pemkab Kuningan Slamet Hermasyah yang ditemui di Kuningan, Kamis mengatakan, pihaknya sempat kebingungan dengan adanya peningkatan aktivitas Gunung Ciremai tersebut, apalagi setelah ada informasi status Gunung Ciremai menjadi level II atau status "waspada".
Karena itu, kata dia pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan Pos Pengamat Gunung Api Gunung Ciremai yang ada di Sampora, Kuningan untuk selalu berkoordinasi dengan Pemkab apabila terjadi gunung meletus.
"Kami sempat bingung dengan peningkatan status dari aktif normal ke status waspada atas aktivitas gunung tersebut, mengingat ada sekitar ribuan warga tinggal di kawasan kaki Gunung Ciremai tersebut," katanya.
Kalau memang kondisinya seperti itu, kata dia, tentunya pihak Pemkab akan menyiapkan segalanya untuk menghadapi kemungkinan gunung tersebut benar-benar meletus.
"Kami memang sejak awal sudah mengimbau kepada seluruh warga desa di kawasan kaki Gunung Ciremai untuk selalu waspada namun tetap tenang bila menghadapi persoalan seperti gunung meletus. Pendeknya Pemkab dan warga sudah siap menghadapi kemungkinan gunung itu meletus," kata dia.
Ia menyebutkan ada beberapa wilayah pemukiman di sekitar perbukitan kaki Gunung Ciremai yang kini kondisinya sudah cukup padat, sehingga mereka perlu mewaspadai kemungkinan adanya aktivitas yang terus meningkat dari gunung tersebut.
Beberapa desa yang berada di kaki Gunung Ciremai dan masuk ke dalam lingkaran merah (bahaya) di antaranya Desa Trijaya, Setianegara, Apuy dan Linggarjati. "Warga desa itulah yang perlu ekstra waspada guna mengantispasi kemungkinan kembali adanya aktivitas Gunung Ciremai," papar dia.
Dari pemantauan dari pos pengamatan gunung api di Desa Sampora pada Kamis siang (16/10), kawasan Gunung Ciremai diguyur hujan, sehingga puncak gunung tidak terlihat, yang biasanya cukup jelas pada saat cuaca cerah dan tidak tertutup awan.
Aktivitas sejumlah warga yang tinggal di kawasan kaki gunung itu tampak masih biasa-biasa saja, mereka masih bisa melakukan pekerjaan sebagai petani, peladang dan penggembala kambing. Tidak tampak rasa takut pada diri mereka, terhadap kemungkinan meletusnya gunung yang sangat dekat dengan pemukiman penduduk itu.
Dari pantauan seismograf aktivitas Gunung Ciremai sejak Minggu (12/10) lalu hingga Kamis (16/10) ini terus meningkat. Sampai hari Jum'at sudah terjadi gempa vulkanik susulan sebanyak delapan kali, gempa susulan type vulkanik B yang punya kedalaman di bawah 5 Km.
Sumber : http://www.pelita.or.id
Ny Rasminah (30) warga yang tinggal di kaki lereng Gunung Ciremai (3.078 meter dpl) tepatnya di Desa Trijaya, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan Jawa Barat, pada hari Minggu (12/10) tiba-tiba tubuhnya bergetar.
Bahkan akibat kerasnya getaran itu, anak semata wayang yang sedang digendongnya nyaris terjatuh dari pelukan. "Untunglah, saat terjadinya guncangan tersebut, saya berpegangan pada tiang bambu yang pada Minggu siang sekitar pukul 14.00 WIB itu juga bergetar," kata dia, saat ditemui Antara, di rumahnya yang berdinding bambu, beberapa waktu lalu.
Semula, kata dia, dirinya tidak menyadari kalau getaran itu merupakan bagian dari fenomena alam, yakni gempa vulkanik akibat meningkatnya aktivitas Gunung Ciremai yang berada di samping rumahnya.
"Saya baru tahu kalau getaran itu adalah lini (gempa) setelah sejumlah warga lainnya berhamburan ke luar rumah seraya berteriak lini beberapa kali memberi tahu warga desa lainnya agar segera ke luar rumah agar terhindar bahaya," tuturnya.
Diakuinya, dirinya tidak mengerti soal asal muasal gempa, namun dari berbagai cerita orangtuanya dulu, bagi warga yang tinggal di sekitar lereng Gunung Ciremai tidak usah takut dan khawatir kalau terjadi lini, karena hal itu diyakini sebagai tanda kalau penghuni gunung itu hanya sedang menggeliat.
"Meski begitu, kami juga sempat khawatir kalau peristiwa itu sebagai pertanda buruk atau penghuninya murka (gunung meletus,red), karena dampaknya jelas akan menimbulkan bencana, apalagi kami yang tinggal tidak jauh dari puncak gunung tersebut," tuturnya.
Fenomena alam tersebut ternyata tidak saja dirasakan oleh Ny Rasminah. Getarannya sempat tertangkap oleh alat pendeteksi gempa atau seismograf yang dipantau melalui Pos Pengamat Gunung Api Gunung Ciremai Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Bandung yang terletak di Desa Sampora, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan.
"Secara umum aktifitas Gunung Ciremai yang berada di kawasan Majalengka dan Kuningan itu masih dalam batas normal. Kalaupun ada getaran, itu terjadi akibat gempa tektonik dan sebagian vulkanik di sekitar kawasan gunung tertinggi di Jawa Barat itu," kata Didi Supriyadi karyawan Pos Pengamat Gunung Api Gunung Ciremai di Desa Sampora, Kuningan.
Diakuinya memang akhir pekan lalu, yakni Minggu (12/10) sempat beberapa kali warga masyarakat sekitar Gunung Ciremai melaporkan merasakan adanya getaran, bahkan alat pencatat (seismograf) juga sempat mencatat getaran itu, namun diperkirakan hanya gempa tektonik skala ringan.
Dikatakannya, hingga saat ini pihaknya terus melakukan pemantauan dan pengamatan secara intensif, dan mencatat getaran yang mungkin sebagian ditimbulkan oleh aktivitas Gunung Ciremai, namun ada pula getaran akibat gempa tektonik.
"Gempa tektonik yang cukup besar terjadi di kawasan Madirancan dan Cilimus, Kabupaten Kuningan pada Mei 2003 lalu, saat itu meski tidak ada korban jiwa manusia namun sempat menghancurkan ratusan rumah warga setempat yang yang kebetulan sejak awal sudah dalam kondisi waspada," katanya.
Bahkan sampai sekarang DVMBG masih melakukan penelitian seputar terjadinya gempa di kawasan Gunung Ciremai yang intensitasnya mulai meningkat sejak Minggu (12/10) siang itu.
" DVMBG masih meneliti lebih jauh lagi apakah gempa itu diakibatkan aktivitas Gunung Ciremai yang meningkat atau getaran akibat patahan baribis," kata Kasubdit DVMBG Dr Surono. Beberapa getaran gempa sempat terdeteksi oleh warga yang tinggal di kaki gunung itu, dengan kisaran antara I MMI (Modified Mercalli Intensity) sampai II MMI.
Ia mengatakan, berdasarkan data yang diperoleh DVMBG menunjukkan bahwa selama rentang waktu dari tanggal 4 Oktober 2003 sampai 12 Oktober 2003, telah terjadi getaran tektonik dan vulkanik yang dirasakan oleh warga Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan.
Pada tanggal 4 Oktober 2003 telah terjadi tiga kali gempa tektonik, tanggal 5 Oktober lima kali gempa tektonik, dan tanggal 7 Oktober terjadi 3 kali gempat tektonik, 18 gempa vulkanik A dan 11 kali gempat vulkanik B.
Kemudian tanggal 8 Oktober 2003 terjadi 9 kali gempa Vulkanik A dan 2 kali gempa Vulkanik B, serta tanggal 12 telah terjadi 6 kali gempa Vulkanik dan 3 kali gempa tektonik.
"Meski demikian skala masih berada di kisaran antara I MMI sampai II MMI atau dapat disamakan dengan ukuran satu skala Richter," paparnya.
Ia mengaku semula adanya gempa itu masih bisa dikatakan sebagai status "aktif normal", namun setelah intensitasnya terus meningkat, akhirnya status dinaikkan menjadi "waspada".
Untuk itu, pemantauan Gunung Api Ciremai (3.078 meter dpl) oleh DVMBG semakin ditingkatkan, setelah DVMBG menetapkan terhitung dari tanggal 13 Oktober 2003 statusnya dinaikkan dari "aktif normal" menjadi "waspada".
"Peningkatan pemantauan tersebut juga setelah terjadinya beberapa gempa vulkanik dan gempa tektonik yang melanda kawasan pemukiman di kaki gunung api tersebut," katanya.
Adanya peningkatan intensitas gempa tektonik dan gempa vulkanik tersebut, membuat DVMBG mengambil keputusan untuk meningkatkan status gunung api tersebut.
"Sebenarnya yang paling diperhatikan adalah gempa vulkanik yang berkaitan dengan aktivitas gunung api, sedangkan gempa tektonik berkaitan dengan patahan baribis," ujar dia.
Kendati demikian, kata Surono, DVMBG sampai sekarang belum melihat adanya letusan "freatik" yang terjadi di kawah gunung api yang terakhir tahun 1938 lalu aktivitas gunung api tersebut meningkat.
Surono menyebutkan, Gunung Ciremai sejak tahun 1938 lalu sampai sekarang belum terjadi lagi letusan, dan aktivitas terakhirnya terjadi dari tanggal 27 Juni 1937 sampai 7 Juni 1938 dengan terjadi beberapa kali letusan freatik.
"Pada tahun 1955 lalu, di kawasan Gunung Ciremai sempat terjadi gempa tektonik namun ukurannya masih sama dengan kejadian saat ini, yakni dikisaran antara I MMI sampai II MMI," papar dia.
Sementara itu Kabag Humas Pemkab Kuningan Slamet Hermasyah yang ditemui di Kuningan, Kamis mengatakan, pihaknya sempat kebingungan dengan adanya peningkatan aktivitas Gunung Ciremai tersebut, apalagi setelah ada informasi status Gunung Ciremai menjadi level II atau status "waspada".
Karena itu, kata dia pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan Pos Pengamat Gunung Api Gunung Ciremai yang ada di Sampora, Kuningan untuk selalu berkoordinasi dengan Pemkab apabila terjadi gunung meletus.
"Kami sempat bingung dengan peningkatan status dari aktif normal ke status waspada atas aktivitas gunung tersebut, mengingat ada sekitar ribuan warga tinggal di kawasan kaki Gunung Ciremai tersebut," katanya.
Kalau memang kondisinya seperti itu, kata dia, tentunya pihak Pemkab akan menyiapkan segalanya untuk menghadapi kemungkinan gunung tersebut benar-benar meletus.
"Kami memang sejak awal sudah mengimbau kepada seluruh warga desa di kawasan kaki Gunung Ciremai untuk selalu waspada namun tetap tenang bila menghadapi persoalan seperti gunung meletus. Pendeknya Pemkab dan warga sudah siap menghadapi kemungkinan gunung itu meletus," kata dia.
Ia menyebutkan ada beberapa wilayah pemukiman di sekitar perbukitan kaki Gunung Ciremai yang kini kondisinya sudah cukup padat, sehingga mereka perlu mewaspadai kemungkinan adanya aktivitas yang terus meningkat dari gunung tersebut.
Beberapa desa yang berada di kaki Gunung Ciremai dan masuk ke dalam lingkaran merah (bahaya) di antaranya Desa Trijaya, Setianegara, Apuy dan Linggarjati. "Warga desa itulah yang perlu ekstra waspada guna mengantispasi kemungkinan kembali adanya aktivitas Gunung Ciremai," papar dia.
Dari pemantauan dari pos pengamatan gunung api di Desa Sampora pada Kamis siang (16/10), kawasan Gunung Ciremai diguyur hujan, sehingga puncak gunung tidak terlihat, yang biasanya cukup jelas pada saat cuaca cerah dan tidak tertutup awan.
Aktivitas sejumlah warga yang tinggal di kawasan kaki gunung itu tampak masih biasa-biasa saja, mereka masih bisa melakukan pekerjaan sebagai petani, peladang dan penggembala kambing. Tidak tampak rasa takut pada diri mereka, terhadap kemungkinan meletusnya gunung yang sangat dekat dengan pemukiman penduduk itu.
Dari pantauan seismograf aktivitas Gunung Ciremai sejak Minggu (12/10) lalu hingga Kamis (16/10) ini terus meningkat. Sampai hari Jum'at sudah terjadi gempa vulkanik susulan sebanyak delapan kali, gempa susulan type vulkanik B yang punya kedalaman di bawah 5 Km.
Sumber : http://www.pelita.or.id
0 komentar:
Posting Komentar